Tuesday, January 26, 2016

SEJARAH POLIGAMI

POLIGAMI DALAM TINJAUAN SEJARAH


A.    PENDAHULUAN

Istilah poligami dan poliandri merupakan istilah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini erat hubungannya dengan perkawinan seseorang dengan lawan jenisnya, dimana jika muncul suatu ketertarikan seseorang dengan lawan jenisnya ketika ia sudah menyandang status perkawinan, maka terjadilah poligami.

Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah swt, sehingga tidak mengherankan kalau diletakkan pada awal surat an-Nisa dalam kitabnya yang mulia. Seperti yang kita tahu bahwa poligami berada pada ayat ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam al-Qur’an yang membahas tentang poligami. Akan tetapi para mufassir dan para ahli fiqih, seperti biasanya, telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara masalah poligami dengan para janda yang memilki anak-anak yatim. 

Poligami : Apakah sunnah Rasulullah yang membawa berkat jika diamalkan? Apakah sebagai pintu darurat yang seharusnya hanya digunakan dalam keadaan tertentu? Ataukah lembaga patrialkal yang yang harus ditinggalkan sama sekali pada zaman modern ini? Pertanyaan-pertanyaan serupa ini kini banyak diperbincangkan dalam masyarakat Indonesia. Poligami merupakan bahan pembicaraan yang menarik dan topik yang kontroversial. Poligami memang termasuk ajaran agama Islam, agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Namun demikian, pemahaman orang Islam terhadap poligami dalam ajaran agama berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa poligami dianjurkan dalam keadaan tertentu; ada juga yang percaya bahwa poligami seharusnya ditinggalkan pada masa kini.

Berdasarkan ilustrasi sebelumnya, maka dalam makalah ini penulis akan menelusuri bagaimana topik poligami ini dalam tinjauan sejarah, yaitu pada masa pra Islam dan setelah datangnya Islam atau pada masa Rasulullah saw. serta bagaimana hukum poligami jika dihubungkan dengan konteks pada zaman sekarang.

B.     DEFINISI POLIGAMI
Secara etimologi, kata poligami berasal dari bahasa yunani yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami yaitu adat seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, dan poliandri adalah adat seorang perempuan bersuami lebih dari seorang[1][1].

Pengertian poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan[2][2]. Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan andros berarti laki-laki[3][3].

Sedangkan dalam Wikipedia disebutkan bahwa dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri.
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi[4][4].

Dalam kamus Ilmiah Populer[5][5], poligami diartikan sebagai perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih. (namun cenderung diartikan : perkawinan seorang suami dengan dua istri atau lebih). Dalam Islam, pengertian poligami disebut Ta’adduz Zaujah.

Dari beberapa definisi diatas, pada intinya poligami adalah sistem perkawinan seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan pula yang sering disebut dengan istilah poliandri.

C.    POLIGAMI PADA MASA PRA ISLAM
Poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali. Hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. Di dunia barat, kebanyakan orang benci dan menentang poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa disana menganggap bahwa poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh karenanya dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral. Akan tetapi kenyataan menunjukan lain, dan inilah yang mengherankan. Hendrik II, Hendrik IV, Lodeewijk XV, Rechlieu, dan Napoleon I adalah contoh orang-orang besar Eropa yang berpoligami secara illegal. Bahkan, pendeta-pendeta Nasrani yang telah bersumpah tidak akan kawin selamanya hidupnya, tidak malu-malunya memiliki kebiasaan memelihara istri-istri gelap dengan izin sederhana dari uskup atau kepala gereja mereka.

Kebiasaan poligami yang dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan sehingga banyak orang yang menganggapnya sebagai perbuatan suci. Orang Hindu melakukan poligami secara meluas, begitu juga orang Babilonia, Siria, dan Persi, mereka tidak mengadakan pembatasan mengenai jumlah wanita yang dikawini oleh seorang laki-laki. Seorang Brahma berkasta tinggi, boleh mengawini wanita sebanyak yang ia suka. Di kalangan bangsa Israil, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa a.s. yang kemudian menjadi adat kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan istri[6][6].

Di kalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, poligami lazim dilaksanakan. Bahkan menurut mereka Injil sendiri tidak menyebutkan batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki. Agama Kristen tidak melarang adanya praktek poligami, sebab tidak ada satu keterangan yang jelas dalam Injil tentang landasan melarang poligami. Terkecuali dalam Injil Matius Pasal 10  ayat 10-12dan Injil Lukas pasal 16 ayat 18 yang menerangkan bahwa seseorang yang menceraikan pasangannya kemudian menikah lagi, maka hukumnya dia berzina dengan pasangannya yang baru.

Dalam realitasnya, hanya golongan Kristen Katolik saja yang tidak membolehkan  pembubaran akad nikah kecuali kematian saja. Sedangkan aliran-aliran Ortodoks dan Protestan atau Gereja Masehi Injil membolehkan. Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada dewan Gereja pada masa awal Kristen yang menentang Poligami. St. Agustine justru menyatakan secara tegas bahwa dia sama sekali tidak mengutuk poligami. Marthin Luther[7][7] mempunyai sikap yang toleran dan menyetujui status poligami Philip dari Hesse. Tahun 1531 kaum Anabaptis mendakwakan poligami. Sekte Mormon juga meyakini poligami. Bahkan hingga sekarang, beberapa Uskup di Afrika masih sangat mendukung praktek poligami[8][8].

Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa (Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar jika poligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam[9][9].

Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Sebenarnya hingga sekarang sistem poligami ini masih tetap tersebar di beberapa bangsa yg tidak beragama islam seperti orang-orang Afrika, Hindu India, Cina, dan Jepang. Juga tidak benar jika dikatakan bahwa sistem ini hanya berlaku dikalangan bangsa-bangsa yang beragama Islam. Sebenarnya agama Kristen tidak melarang poligami sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun yang dengan tegas melarang hal ini. Dulu sebagian bangsa Eropa yang pertama memeluk Kristen telah beradat istiadat dengan mengawini satu perempuan saja. Sebelumnya mereka adalah penyembah berhala. Mereka memeluk Kristen karena pengaruh bangsa Yunani dan Romawi yang melarang poligami.

Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka ini tetap mereka pertahankan dalam agama baru ini. Jadi, sistem monogami yg mereka jalankan ini bukanlah dari agama Kristen yang mereka anut, melainkan warisan Paganisme (agama berhala) dahulu. Dari sinilah gereja kemudian mengadakan bid’ah dengan menetapkan larangan poligami lalu larangan tersebut dimasukkan sebagai aturan agama, padahal kitab Injil tidak menerangkan sedikitpun tentang pengharaman sistem ini. Kemudian menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqhussunnah mengutarakan bahwa sebenarnya sistem poligami ini tidaklah dilakukan kecuali oleh bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya, sedangkan bangsa-bangsa yang masih primitif jarang sekali melakukannya, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Hal ini diakui oleh para sarjana sosiologi dan kebudayaan seperti Westermark, Hobbers, Heler dan Jean Bourge.

Hendaklah diingat bahwa sistem monogami merupakan sistem yang umum dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kebanyakan masih primitif, yaitu bangsa-bangsa yang hidup dengan mata pencaharian berburu, bertani, yang biasanya bertabiat halus dan bangsa-bangsa yang sedang berada dalam transisi meninggalkan zaman primitifnya, yang pada zaman modern kini disebut bangsa agraris.

Disamping itu, sistem monogami tidak begitu menonjol pada bangsa-bangsa yang telah mengalami perubahan kebudayaan yaitu bangsa-bangsa yang telah meninggalkan cara hidup berburu yg primitif menjadi bangsa peternak dan penggembala dan bangsa-bangsa yang meninggalkan cara hidup memetik hasil tanaman liar menjadi bangsa yang bercocok tanam. Kebanyakan sarjana sosiologi dan kebudayaan berpendapat bahwa sistem poligami pasti akan meluas dan bangsa-bangsa di dunia ini banyak melakukannya bilamana kebudayaan mereka bertambah tinggi. Jadi tidaklah benar anggapan bahwa poligami berkaitan dengan keterbelakangan kebudayaan. Sebaliknya poligami seiring dengan kebudayaan.

Demikian kedudukan sebenarnya sistem poligami menurut sejarah. Begitu juga sebenarnya pendirian agama Kristen. Begitu juga meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia. Hal ini disampaikan bukan untuk mencari dalih untuk membenarkan sistem poigami ini, tetapi untuk menerangkan persoalan sesuai dengan tempatnya dan menjelaskan penyelewengan serta kebohongan sejarah dan fakta yang dikemukakan oleh orang-orang Eropa[10][10].

D.    POLIGAMI PADA MASA MUHAMMAD SAW
Poligami pada masa pra-Islam, sudah menjadi sebuah kebiasaan dan budaya. Maka Islam datang dengan membawa pencerahan untuk membatasi praktek poligami tersebut. Islam adalah agama yang mengatur tentang kemasyarakatan. Islam mempunyai konsep kemanusiaan yang luhur yang dibebankan kepada manusia untuk menegakannya dan harus disebarluaskan kepada seluruh umat manusia. Negara-negara yang maju banyak membutuhkan tenaga manusia (man power) untuk tenaga kerja maupun untuk keperluan pertahanan dan keamanan. Di negara-negara yang sedang dilanda peperangan tidak jarang rakyatnya gugur di medan perang dan banyak janda-janda yang harus dilindungi.

Demikian pula di beberapa negara, penduduk wanitanya lebih banyak dari laki-lakinya, seperti yang lazim terjadi di negara yang habis berperang. Menurut Alhamdani dalam bukunya Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, apabila para wanita dibiarkan sendiri mereka akan mudah terombang-ambing dan gampang terjerumus ke dalam perbuatan nista yang merusak kehidupan. Melihat perbandingan jumlah antara laki-laki dan wanita yang tidak seimbang, maka praktek poligami ini merupakan solusi untuk menjaga dan melindungi kaum wanita.

Poligami pada masa Rasulullah saw., dijadikan sebagai cerminan poligami dalam Islam. Pada dasarnya alasan Nabi Muhammad berpoligami bersifat mulia, yakni untuk menolong janda-janda dan anak yatim untuk “berjuang di jalan Allah” dan beliau mengamalkan monogami lebih lama daripada poligami.

Syekh Muhammad Abduh mengungkapkan bahwa syariat Muhammad telah memperbolehkan seorang lelaki untuk menikah dengan empat wanita apabila lelaki tersebut telah mampu berlaku adil kepada para wanita tersebut. Namun di saat seorang lelaki merasa ia tidak akan mampu berbuat adil maka ia hanya boleh menikah hanya dengan seorang wanita saja sebagaimana disebut dalam surat an-Nisa ayat 3.
Di saat seorang lelaki tidak mampu memberikan hak yang sama pada setiap istrinya maka terkoyaklah urusan rumah tangganya dan buruklah bahtera rumah tangganya. Satu pondasi kuat untuk membangun bahtera rumah tangga yang kokoh adalah dengan melestarikan kebersamaan dan kasih sayang antar anggota keluarga. Bila seorang lelaki hanya mengkhususkan satu istrinya dengan mengabaikan istri yang lainnya, walau hanya pada hal yang remeh sekalipun seperti dengan memberi hari yang bukan untuk istrinya tersebut, maka hal itu kelak akan membawa permasalahan baginya. Rasulullah, para sahabat, para khalifah, dan para ulama di setiap masanya selalu berusaha berlaku adil pada setiap istri mereka. Rasulullah dan para ulama salaf tidak akan pernah mendatangi seorang istri pada hari yang tidak ditentukannya kecuali bila telah mendapatkan izin dari istri yang memilki hari tersebut.

Bahkan Rasulullah pun tetap berkeliling ke rumah istri-istrinya walau ia dalam keadaan sakit agar dapat berlaku adil pada semua istrinya. Beliau tidak rela untuk berdiam dan beristirahat pada salah satu rumah istrinya saja[11][11]. Para ahli fiqih pun bersepakat bahwa sudah menjadi kewajiban seorang lelakiyang berpoligami untuk bisa berlaku adil dalam memberikan nafkah pada setiap istrinya. 

Para ulama Hanafi berpendapat bahwa perilaku adil merupakan salah satu hak istri dan menjadi kewajiban bagi suami. Mereka pun berpendapat bahwa di saat suami tidak bisa berlaku adil, maka pihak istri bisa mengadukannya kepada hakim hingga kekuasaan hakim pun di harap bisa memberi peringatan padanya dan juga menghukumnya atas ketidakadilannya tersebut[12][12].

Sesungguhnya Allah swt. tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi Dia sangat menganjurkannya (berdasarkan sura an-Nisa:3), namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi : Pertama, bahwa istri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memilki anak yatim; kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Sehingga perintah poligami akan menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat di atas.
Ungkapan "poligami adalah sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129). Dalil yang biasanya diajukan untuk memperkuat bahwa poligami itu sunnah karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir, lebih memilih memperketat dan melarang poligami. Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman[13][13].

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi. Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.

Batasan Poligami
Pada dasarnya Islam membatasi Poligami ini dengan empat orang istri sesuai dengan dalil normatif Al-qur’an pada surat an-Nisa : 3. Diceritakan dari al-Qasim bin Ibrahim, bahwa ia pernah membolehkan menikah dengan Sembilan orang wanita. Hal ini berdasarkan firman Allah (an-Nisa : 3). Dia mengartikan bahwa huruf ‘wawu’ dalam ayat itu dimaksudkan sebagai jamak. Dan karena Nabi sendiri menikah dengan Sembilan wanita.

Pendapat tersebut tidak benar dan bertentangan dengan ijma’ yang telah disepakati serta mengabaikan sunnah. Karena Rasulullah saw, telah bersabda kepada Ghailan bin Salamah ketika ia memeluk islam, sedang ia mempunyai sepuluh istri, ‘pertahankan empat saja dan ceraikan selebihnya”. Kemudian Naufal bin Mu’awiyah bercerita, aku memeluk islam sedang aku mempunyai lima istri, maka nabi berkata: “ceraikanlah salah satu dari mereka”.  Kedua hadist tersebut diriwayatkan oleh Syafi’i dalam musnadnya[14][14]

Faqihuddin Abdul Kodir[15][15] menyatakan bahwa mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA terhadap Fatimah. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jami’ al-Ushul, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Analisis poligami untuk konteks kekinian :
Berbeda dengan poligami dalam lintasan sejarah, yaitu pada masa pra-Islam dan praktek poligami pada masa Rasulullah saw. Dalam konteks sekarang, alasan poligami pada umumnya adalah syahwat. Bagaimana bisa di tengah banyaknya persoalan kehidupan yang rumit, kemiskinan, ketidakadilan, laki-laki justru memikirkan poligami? Sebegitu pentingkah mempunyai istri lebih dari satu sampai rela menghabiskan waktu untuk mengurus hal itu. Maka sudah saatnya segala argumentasi tentang poligami kita tanggapi dengan pikiran dan hati nurani yang bersih.

Pertama, poligami sering diajukan sebagai hal yang baik dilakukan karena menghindari perselingkuhan dan perzinaan. Benarkah? Pikiran ini benar bila dilihat poligami menyebabkan hubungan seksual antara lelaki dan perempuan menjadi "legal" di bawah naungan "lembaga perkawinan". Tetapi, seharusnya yang juga ditanyakan, semudah itukah orang melegalkan seks? Kenapa poligami seolah-olah meniadakan fakta sebelum ada poligami yang ada adalah perselingkuhan? Lalu, bagaimana dengan pengkhianatan? Masyarakat telah terlalu gampang membela poligami dengan menyatakan poligami akan menghindari perzinaan. Tidakkah poligami bisa dilihat juga sebagai melegalkan pengkhianatan? Dan kemudian istri diminta menerima pengkhianatan itu dengan berbagai dalih? Ketika perselingkuhan dikukuhkan ke dalam lembaga perkawinan melalui mekanisme poligami, maka "perselingkuhan" dianggap hilang, tetapi sebenarnya pengkhianatan itu tetap ada. Tetapi, perempuan telah dididik untuk bisa menerima itu.

Kedua, dalam Islam poligami memang dibolehkan dengan syarat bisa berlaku adil. Pertanyaannya sederhana, apakah lelaki benar-benar bisa berlaku adil, setiap waktu dari detik ke detik? Adil lahir dan batin? Bila lelaki mengatakan "ya", alangkah sombongnya lelaki itu.
Sebenarnya, bila ada kerendahan hati pada kaum lelaki, mereka pasti akan mengaku tidak berani menjamin keadilan. Dan jika tidak berani menjamin, maka tidak akan berani berpoligami karena takut akan murka Allah.

Ketiga, bagi mereka yang ngotot dan mengaku sanggup adil, pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana mengukur keadilan? Kalau mau berargumentasi lelaki bisa adil, marilah kita mencari indikator untuk mengukur keadilan. Dengan materi? Itu jelas gampang. Tetapi, keadilan yang lebih dalam? Dari hati dan batin seseorang? Jika tidak mungkin diukur, bagaimana bisa menjamin keadilan? Coba kita telaah lagi aturan-aturan dalam agama, maka kita akan mendapati bahwa walaupun tidak melarang, Islam justru menuntut umatnya berpikir dan menganalisis lebih jauh.


E.     KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian poligami dalam lintasan sejarah, tidak benar jika dikatakan bahwa Islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Karena faktanya praktek poligami sudah ada dan dipraktekkan oleh kaum-kaum terdahulu jauh sebelum adanya agama Islam bahkan sudah menjadi budaya yang lebih parah pada masyarakat non-Islam. Praktek poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya.

Islam memperbolehkan poligami, meletakan sebuah sistem berpoligami yang berkeadilan, bermoral dan manusiawi. Dengan bertujuan sebagai solusi untuk memecahkan berbagai kesulitan sosial yang dialami perempuan dalam hidup bermasyarakat. Adanya seorang lelaki di sisi seorang janda akan mampu menjaga dan memeliharanya agar tidak terjatuh dalam perbuatan yang keji dan pelipat-gandaan tempat perlindungan yang aman bagi anak-anak yatim dimana mereka tumbuh dan dididik di dalamnya.

Untuk konteks sekarang, poligami pada dasarnya pelanggaran terhadap integritas dalam institusi perkawinan, karena institusi perkawinan pada dasarnya dibangun oleh dua orang yang ingin membina kehidupan bersama, yang dimulai dengan niat yang tulus, cinta, dan adanya janji sakral yang seharusnya dihormati. Ketika orang ketiga datang, apa pun alasannya, janji antara awal tadi telah dikhianati. Maka ketidakjujuran kemudian begitu saja mudah diterima dan "kebohongan" menjadi hilang begitu kata poligami muncul.


F.     PENUTUP
Demikian uraian singkat mengenai poligami dalam tinjauan sejarah. Eksplorasi tentang topik yang kontroversial ini tentunya tidaklah cukup hanya dengan satu makalah, sehingga masih banyak kekurangan dalam konten makalah ini yang perlu banyak penyempurnaan. Kami ucapkan banyak terimakasih atas segala perhatiannya, semoga diskusi tentang poligami ini dapat membuka hakikat kebolehan dan ketidakbolehan poligami terutama untuk kaum adam agar menimbang ulang untuk melakukan poligami. semoga bermanfaat. 



G.    DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Jarjawi, Ali,  Hikmah dan Falsafah Syari’at Islam,cet I, Jakarta : Gema Insani, 2006.
Alhamdani, H.S.A., Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Pustaka Amani, 1980. 
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat. cet V, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2008.
Darmawan, Hendro, dkk., Kamus Ilmiah Populer lengkap Dengan EYD dan Pembentukan Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Bintang Cemerlang, 2010
Mursalin,Supardi, Menolak Poligami, Studi Tentang Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka, 2006
Sabiq, Sayyid,  Fiqih Sunnah,  jilid 3, cet I, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, cet. I, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2003
Tihami, H.M.A. dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap,  Jakarta : Rajawali Pers, 2010.



[1][1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka, 2006,  Hlm 904
[2][2] KBBI, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008
[3][3] H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap,  Jakarta : Rajawali Pers, 2010. Hlm. 352
[5][5] Hendro Darmawan, dkk, Kamus Ilmiah Populer lengkap Dengan EYD dan Pembentukan Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Bintang Cemerlang, 2010, hlm 576
[6][6] Ibid,  hlm. 354
[7][7] Pendiri Denominasi Protestan, sang reformatori atau  mbahnya kaum Evangelist, dalam  bukunya “Der Beichrat” – (The Confessional Advice) – mengijinkan Pangeran Landgrave Philipp von Hesse melakukan poligami. Ini lebih baik daripada Pangeran itu meneruskan kebiasaan kumpul kebo dan sex bebasnya.
[8][8] Ibid, hlm. 357
[9][9] H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Pustaka Amani, 1980. Hlm 80
[10][10] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,  jilid 3, cet I, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006. hlm. 7
[11][11] Ali Ahmad Al-Jarjawi, Hikmah dan Falsafah Syari’at Islam, Jakarta : Gema Insani, 2006. Hlm 322-323
[12][12] Ibid, hlm. 324
[13][13] Lihat Tafsir Al-Manar, hlm 287
[14][14] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, panduan membangun keluarga sakinah sesuai syariat. cet V, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2008. hlm 175
[15][15]Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah

No comments:

Post a Comment