MENERUSKAN TRADISI BERDAKWAH PARA
PENDAHULU
Oleh : Agung Kurniawan
Dakwah
dapat diartikan mengumpulkan manusia dalam kebaikan dan menunjukkan mereka
kepada jalan yang benar dengan cara amar ma’ruf nahi munkar. Sandaran pendapat
ini adalah firman Allah Swt:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran 3: 104)
Ayat
tersebut merupakan landasan umum mengenai dakwah: amar ma’ruf nahi munkar. Tak
diragukan lagi bahwa ajaran tentang dakwah merupakan bagian integral dalam
Islam. Di samping dituntut untuk hidup secara Islami, kita juga dituntut untuk
menyebarkan ajaran Islam ke seluruh umat manusia. Dan berkat dakwah pula agama
Islam dapat menyebar dan diterima di mana-mana, di hampir semua belahan benua.
Dakwah
adalah tradisi yang diwariskan para Nabi dan Rasul beserta para pengikut
setianya. Para ulama, kiai-kiai yang membawa misi Islam ke negeri ini
mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk kepentingan dakwah demi kejayaan
Islam dan kehidupan yang damai bagi para pemeluknya di bawah naungan ridla
Ilahi.
Maka dari itu hendaknya dakwah harus di promosikan seluas mungkin tanpa harus menunggu undangan terlebih dahulu baru kita datang untuk berdakwah, hendaknya berdakwah itu tidak memandang materi ataupun ke untungan duniawi semata, mulailah menawarkan/syiar islam ke masyarakat dari mulai ke Mushola, Masjid Jami'i sampai Masjid Agung dan para kyai sepuh/tokoh masyarakat harus bisa menonjolkan atau me regenerasi pemuda yang berbakat dalam bidang dakwah untuk membantu syiar islam ke seluruh kalangan masyarakat,
Dapat
dikatakan bahwa dengan bermodalkan spirit demi menegakkan agama Allah para
Walisongo berhasil mengislamkan kawasan Melayu-Nusantara sebagai agama
mayoritas meskipun pada awalnya penduduk lokal telah menganut agama Hindu dan
Budha serta kepercayaan lokal lainnya selama berabad-abad. Hal ini membuktikan
betapa arti pentingnya sebuah prencanaan dan strategi dakwah yang dilakukan
oleh para pejuang Islam sejati (para pendahulu kita) dalam merombak suatu
tatanan masyarakat tanpa menimbulkan gejolak atau konflik-horisontal yang
berkepanjangan. Sehingga tampilan wajah Islam di tengah-tengah masyarakat
Indonesia kini menjadi agama yang ramah, toleran, penuh kedamaian dan
mengedepankan suasana keselarasan sosial.
Sebaliknya,
tanpa adanya dakwah yang intensif dan terprogram dengan baik maka nilai-nilai
Islam sudah barang tentu akan semakin jauh ditinggalkan oleh masyarakat dan
komunitas manusia. Di mana musuh-musuh Islam akan senantiasa menghendaki
keruntuhannya. Karena begitu pentingnya, maka dakwah tidak dapat dianggap
enteng dan sepele.
Sesuai
dengan visi dan misi kelahirannya, bahwa NU merupakan jam’iyah keagaman yang
bergerak di bidang dakwah Islam, yang meliputi masalah keagamaan, pendidikan
dan sosial-kemasyarakatan. Dalam konteks ini pula hingga saat ini NU tetap
konsisten pada jalur kulturalnya. Memilih model dakwah kultural ini tak lain
adalah upaya melestarikan prestasi dakwah para muballigh Islam awal di bumi
Nusantara yang lebih terkenal dengan sebutan Walisongo.
Walisonggo Merupakan best-practice dari pada model
dakwah warisan Walisongo yaitu soal kemampuannya dalam menjalin hubungan yang
baik dengan masyarakat setempat berikut tradisi maupun kultur lokal. Yakni
dengan memperlihatkan kesantunan ajaran Islam disertai perilaku-perilaku yang
ramah dan meneduhkan, sehingga tampilan wajah Islam memiliki daya tarik nan
memukau kepada penduduk pribumi yang pengaruhnya terus meluas hingga ke
pusat-pusat kekuasaan kerajaan di masa itu.
Jasa para
Walisongo memiliki peranan penting dalam mengantarkan model perjuangan para
generasi da’i/kiai selanjutnya. Berkat jasa-jasanya Islam telah merambah ke
pelbagai pelosok tanah Jawa, bahkan telah menyebar ke seluruh Nusantara. Perlu
penulis tegaskan kembali bahwa, keberhasilan para Walisongo tidak terlepas dari
strategi dakwahnya yang tepat. Islam nyaris selalu diperkenalkan kepada
masyarakat melalui ruang-ruang dialog, forum pengajian, pagelaran seni dan
sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya, yang sepi dari unsur paksaan
dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai menumpahkan darah.
Strategi
dakwah yang kemudian oleh sejarawan dikenal dengan model strategi akomodatif
ini merupakan kearifan para penyebar Islam dalam menyikapi proses-proses
inkulturasi dan akulturasi. Dari sudut pandang sosiologi, sepertinya strategi
yang diterapkan Walisongo benar-benar memperhatikan seluruh konteks maupun
situasi yang melingkupi masyarakat setempat sehingga nampak jelas tidak begitu
mementingkan kehadiran simbol-simbol Islam yang mencerminkan budaya Timur
Tengah. Justru penekanannya terletak pada nilai-nilai substantif Islam dengan
kerja-kerja dakwah kultural yang penuh nuansa dialogis dan toleran.
Upaya
rekonsiliasi kultural antara Islam dan budaya lokal ini kerap dilakukan oleh
para Walisonggo sebagai kreasi dakwahnya, dan bukti-bukti historisnya sangat
mudah dilacak, sebut misalnya ornamen yang terdapat pada bangunan masjid Wali
seperti yang terdapat pada bentuk arsitektur masjid Demak dan menara masjid
Kudus atau budaya kirim do’a seperti budaya tahlilan yang lazim oleh warga
nahdliyin disebut slametan.
Dengan kata
lain upaya rekonsiliasi antara Islam dan budaya lokal yang pernah digagas dan
dikembangkan oleh para Walisongo pada akhirnya melahirkan corak Islam yang khas
Melayu-Nusantra atau Islam Indonesia sebagaimana yang kita lihat sekarang.
Asalamualaikum ustadz boleh ga numpang nyimpen skripsi disini? biar aman
ReplyDeleteSilahkan pak
ReplyDelete