POLIGAMI DALAM TINJAUAN SEJARAH
A. PENDAHULUAN
Istilah
poligami dan poliandri merupakan istilah yang muncul dalam kehidupan
sehari-hari. Istilah ini erat hubungannya dengan perkawinan seseorang dengan
lawan jenisnya, dimana jika muncul suatu ketertarikan seseorang dengan lawan
jenisnya ketika ia sudah menyandang status perkawinan, maka terjadilah
poligami.
Poligami
merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah
swt, sehingga tidak mengherankan kalau diletakkan pada awal surat an-Nisa dalam
kitabnya yang mulia. Seperti yang kita tahu bahwa poligami berada pada ayat
ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam al-Qur’an yang membahas tentang
poligami. Akan tetapi para mufassir dan para ahli fiqih, seperti biasanya,
telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada
di antara masalah poligami dengan para janda yang memilki anak-anak yatim.
Poligami
: Apakah sunnah Rasulullah yang membawa berkat jika diamalkan? Apakah sebagai
pintu darurat yang seharusnya hanya digunakan dalam keadaan tertentu? Ataukah
lembaga patrialkal yang yang harus ditinggalkan sama sekali pada zaman modern
ini? Pertanyaan-pertanyaan serupa ini kini banyak diperbincangkan dalam
masyarakat Indonesia. Poligami merupakan bahan pembicaraan yang menarik dan
topik yang kontroversial. Poligami memang termasuk ajaran agama Islam, agama
yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Namun demikian, pemahaman
orang Islam terhadap poligami dalam ajaran agama berbeda-beda. Ada yang
beranggapan bahwa poligami dianjurkan dalam keadaan tertentu; ada juga yang
percaya bahwa poligami seharusnya ditinggalkan pada masa kini.
Berdasarkan
ilustrasi sebelumnya, maka dalam makalah ini penulis akan menelusuri bagaimana
topik poligami ini dalam tinjauan sejarah, yaitu pada masa pra Islam dan
setelah datangnya Islam atau pada masa Rasulullah saw. serta bagaimana hukum
poligami jika dihubungkan dengan konteks pada zaman sekarang.
B. DEFINISI
POLIGAMI
Secara etimologi, kata poligami
berasal dari bahasa yunani yaitu polus yang
berarti banyak dan gamos yang berarti
perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti
suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami
yaitu adat seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, dan poliandri adalah
adat seorang perempuan bersuami lebih dari seorang[1][1].
Pengertian poligami menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki
atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan[2][2]. Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang
mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari
kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan bagi
seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang
berasal dari kata polus yang berarti
banyak dan andros berarti laki-laki[3][3].
Sedangkan dalam Wikipedia disebutkan
bahwa dalam antropologi sosial, poligami
merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini
berlawanan dengan praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri.
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu
poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan
kelompok (bahasa Inggris:
group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk
poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang
paling umum terjadi[4][4].
Dalam kamus Ilmiah Populer[5][5], poligami
diartikan sebagai perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih. (namun
cenderung diartikan : perkawinan seorang suami dengan dua istri atau lebih).
Dalam Islam, pengertian poligami disebut Ta’adduz Zaujah.
Dari beberapa definisi diatas, pada
intinya poligami adalah sistem perkawinan seorang laki-laki yang mempunyai
istri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan
mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan pula yang sering
disebut dengan istilah poliandri.
C. POLIGAMI
PADA MASA PRA ISLAM
Poligami adalah masalah-masalah
kemanusiaan yang tua sekali. Hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu
kala tidak asing dengan poligami. Di dunia barat, kebanyakan orang benci dan
menentang poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa disana menganggap bahwa
poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh karenanya dianggap sebagai
tindakan yang tidak bermoral. Akan tetapi kenyataan menunjukan lain, dan inilah
yang mengherankan. Hendrik II, Hendrik IV, Lodeewijk XV, Rechlieu, dan Napoleon
I adalah contoh orang-orang besar Eropa yang berpoligami secara illegal.
Bahkan, pendeta-pendeta Nasrani yang telah bersumpah tidak akan kawin selamanya
hidupnya, tidak malu-malunya memiliki kebiasaan memelihara istri-istri gelap
dengan izin sederhana dari uskup atau kepala gereja mereka.
Kebiasaan poligami yang dilakukan
oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan sehingga banyak orang yang
menganggapnya sebagai perbuatan suci. Orang Hindu melakukan poligami secara
meluas, begitu juga orang Babilonia, Siria, dan Persi, mereka tidak mengadakan
pembatasan mengenai jumlah wanita yang dikawini oleh seorang laki-laki. Seorang
Brahma berkasta tinggi, boleh mengawini wanita sebanyak yang ia suka. Di
kalangan bangsa Israil, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa
a.s. yang kemudian menjadi adat kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan
istri[6][6].
Di kalangan pengikut Yahudi Timur
Tengah, poligami lazim dilaksanakan. Bahkan menurut mereka Injil sendiri tidak
menyebutkan batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki.
Agama Kristen tidak melarang adanya praktek poligami, sebab tidak ada satu
keterangan yang jelas dalam Injil tentang landasan melarang poligami.
Terkecuali dalam Injil Matius Pasal 10
ayat 10-12dan Injil Lukas pasal 16 ayat 18 yang menerangkan bahwa
seseorang yang menceraikan pasangannya kemudian menikah lagi, maka hukumnya dia
berzina dengan pasangannya yang baru.
Dalam realitasnya, hanya golongan
Kristen Katolik saja yang tidak membolehkan
pembubaran akad nikah kecuali kematian saja. Sedangkan aliran-aliran
Ortodoks dan Protestan atau Gereja Masehi Injil membolehkan. Berdasarkan hasil
penelitian, tidak ada dewan Gereja pada masa awal Kristen yang menentang
Poligami. St. Agustine justru menyatakan secara tegas bahwa dia sama sekali
tidak mengutuk poligami. Marthin Luther[7][7] mempunyai sikap yang toleran dan menyetujui status poligami
Philip dari Hesse. Tahun 1531 kaum Anabaptis mendakwakan poligami. Sekte Mormon
juga meyakini poligami. Bahkan hingga sekarang, beberapa Uskup di Afrika masih
sangat mendukung praktek poligami[8][8].
Poligami sudah berlaku sejak jauh
sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa (Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia,
Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah
bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti
Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada
tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya
yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak
menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar jika
poligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam[9][9].
Jadi tidak benar jika dikatakan
bahwa islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Sebenarnya hingga
sekarang sistem poligami ini masih tetap tersebar di beberapa bangsa yg tidak
beragama islam seperti orang-orang Afrika, Hindu India, Cina, dan Jepang. Juga
tidak benar jika dikatakan bahwa sistem ini hanya berlaku dikalangan
bangsa-bangsa yang beragama Islam. Sebenarnya agama Kristen tidak melarang
poligami sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun yang dengan tegas
melarang hal ini. Dulu sebagian bangsa Eropa yang pertama memeluk Kristen telah
beradat istiadat dengan mengawini satu perempuan saja. Sebelumnya mereka adalah
penyembah berhala. Mereka memeluk Kristen karena pengaruh bangsa Yunani dan
Romawi yang melarang poligami.
Setelah mereka memeluk agama
Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka ini tetap mereka pertahankan
dalam agama baru ini. Jadi, sistem monogami yg mereka jalankan ini bukanlah
dari agama Kristen yang mereka anut, melainkan warisan Paganisme (agama
berhala) dahulu. Dari sinilah gereja kemudian mengadakan bid’ah dengan
menetapkan larangan poligami lalu larangan tersebut dimasukkan sebagai aturan
agama, padahal kitab Injil tidak menerangkan sedikitpun tentang pengharaman
sistem ini. Kemudian menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqhussunnah mengutarakan bahwa sebenarnya sistem poligami ini
tidaklah dilakukan kecuali oleh bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya,
sedangkan bangsa-bangsa yang masih primitif jarang sekali melakukannya, bahkan
bisa dikatakan tidak ada. Hal ini diakui oleh para sarjana sosiologi dan
kebudayaan seperti Westermark, Hobbers, Heler dan Jean Bourge.
Hendaklah diingat bahwa sistem
monogami merupakan sistem yang umum dilakukan oleh bangsa-bangsa yang
kebanyakan masih primitif, yaitu bangsa-bangsa yang hidup dengan mata
pencaharian berburu, bertani, yang biasanya bertabiat halus dan bangsa-bangsa
yang sedang berada dalam transisi meninggalkan zaman primitifnya, yang pada
zaman modern kini disebut bangsa agraris.
Disamping itu, sistem monogami tidak
begitu menonjol pada bangsa-bangsa yang telah mengalami perubahan kebudayaan
yaitu bangsa-bangsa yang telah meninggalkan cara hidup berburu yg primitif
menjadi bangsa peternak dan penggembala dan bangsa-bangsa yang meninggalkan
cara hidup memetik hasil tanaman liar menjadi bangsa yang bercocok tanam.
Kebanyakan sarjana sosiologi dan kebudayaan berpendapat bahwa sistem poligami
pasti akan meluas dan bangsa-bangsa di dunia ini banyak melakukannya bilamana
kebudayaan mereka bertambah tinggi. Jadi tidaklah benar anggapan bahwa poligami
berkaitan dengan keterbelakangan kebudayaan. Sebaliknya poligami seiring dengan
kebudayaan.
Demikian kedudukan sebenarnya sistem
poligami menurut sejarah. Begitu juga sebenarnya pendirian agama Kristen.
Begitu juga meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan
manusia. Hal ini disampaikan bukan untuk mencari dalih untuk membenarkan sistem
poigami ini, tetapi untuk menerangkan persoalan sesuai dengan tempatnya dan
menjelaskan penyelewengan serta kebohongan sejarah dan fakta yang dikemukakan
oleh orang-orang Eropa[10][10].
D. POLIGAMI PADA MASA MUHAMMAD SAW
Poligami pada masa pra-Islam, sudah
menjadi sebuah kebiasaan dan budaya. Maka Islam datang dengan membawa
pencerahan untuk membatasi praktek poligami tersebut. Islam adalah agama yang
mengatur tentang kemasyarakatan. Islam mempunyai konsep kemanusiaan yang luhur
yang dibebankan kepada manusia untuk menegakannya dan harus disebarluaskan
kepada seluruh umat manusia. Negara-negara yang maju banyak membutuhkan tenaga
manusia (man power) untuk tenaga kerja maupun untuk keperluan pertahanan dan
keamanan. Di negara-negara yang sedang dilanda peperangan tidak jarang
rakyatnya gugur di medan perang dan banyak janda-janda yang harus dilindungi.
Demikian pula di beberapa negara,
penduduk wanitanya lebih banyak dari laki-lakinya, seperti yang lazim terjadi
di negara yang habis berperang. Menurut Alhamdani dalam bukunya Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam,
apabila para wanita dibiarkan sendiri mereka akan mudah terombang-ambing dan
gampang terjerumus ke dalam perbuatan nista yang merusak kehidupan. Melihat
perbandingan jumlah antara laki-laki dan wanita yang tidak seimbang, maka
praktek poligami ini merupakan solusi untuk menjaga dan melindungi kaum wanita.
Poligami pada masa Rasulullah saw.,
dijadikan sebagai cerminan poligami dalam Islam. Pada dasarnya alasan Nabi
Muhammad berpoligami bersifat mulia, yakni untuk menolong janda-janda dan anak
yatim untuk “berjuang di jalan Allah” dan beliau mengamalkan monogami lebih
lama daripada poligami.
Syekh Muhammad Abduh mengungkapkan
bahwa syariat Muhammad telah memperbolehkan seorang lelaki untuk menikah dengan
empat wanita apabila lelaki tersebut telah mampu berlaku adil kepada para
wanita tersebut. Namun di saat seorang lelaki merasa ia tidak akan mampu
berbuat adil maka ia hanya boleh menikah hanya dengan seorang wanita saja
sebagaimana disebut dalam surat an-Nisa ayat 3.
Di saat seorang lelaki tidak mampu
memberikan hak yang sama pada setiap istrinya maka terkoyaklah urusan rumah
tangganya dan buruklah bahtera rumah tangganya. Satu pondasi kuat untuk
membangun bahtera rumah tangga yang kokoh adalah dengan melestarikan
kebersamaan dan kasih sayang antar anggota keluarga. Bila seorang lelaki hanya
mengkhususkan satu istrinya dengan mengabaikan istri yang lainnya, walau hanya
pada hal yang remeh sekalipun seperti dengan memberi hari yang bukan untuk
istrinya tersebut, maka hal itu kelak akan membawa permasalahan baginya.
Rasulullah, para sahabat, para khalifah, dan para ulama di setiap masanya
selalu berusaha berlaku adil pada setiap istri mereka. Rasulullah dan para ulama
salaf tidak akan pernah mendatangi seorang istri pada hari yang tidak
ditentukannya kecuali bila telah mendapatkan izin dari istri yang memilki hari
tersebut.
Bahkan Rasulullah pun tetap
berkeliling ke rumah istri-istrinya walau ia dalam keadaan sakit agar dapat
berlaku adil pada semua istrinya. Beliau tidak rela untuk berdiam dan
beristirahat pada salah satu rumah istrinya saja[11][11]. Para ahli fiqih pun bersepakat bahwa sudah menjadi
kewajiban seorang lelakiyang berpoligami untuk bisa berlaku adil dalam memberikan
nafkah pada setiap istrinya.
Para ulama Hanafi berpendapat bahwa
perilaku adil merupakan salah satu hak istri dan menjadi kewajiban bagi suami.
Mereka pun berpendapat bahwa di saat suami tidak bisa berlaku adil, maka pihak
istri bisa mengadukannya kepada hakim hingga kekuasaan hakim pun di harap bisa
memberi peringatan padanya dan juga menghukumnya atas ketidakadilannya tersebut[12][12].
Sesungguhnya Allah swt. tidak hanya
sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi Dia sangat menganjurkannya (berdasarkan
sura an-Nisa:3), namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi : Pertama, bahwa istri kedua, ketiga, dan
keempat adalah para janda yang memilki anak yatim; kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada
anak-anak yatim. Sehingga perintah poligami akan menjadi gugur ketika tidak
terdapat dua syarat di atas.
Ungkapan "poligami adalah
sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung
pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas
tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al
Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129). Dalil yang biasanya
diajukan untuk memperkuat bahwa poligami itu sunnah karena sandaran kepada teks
ayat Al Quran (QS An-Nisa: 2-3)
lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami
sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi
mengapresiasi poligami. Ayat ini
meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda
korban perang.
Dari kedua ayat itu, beberapa ulama
kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh
Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir, lebih memilih
memperketat dan melarang poligami. Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah
penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara
syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak
menimbulkan kerusakan dan kezaliman[13][13].
Dalam definisi fikih, sunah berarti
tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi.
Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat
distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak
melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi
lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap
poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya,
Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian,
dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya
sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Poligami Nabi adalah media untuk
menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum
cukup kukuh untuk solusi. Bukti bahwa
perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks
hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka
adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.
Batasan
Poligami
Pada dasarnya Islam membatasi
Poligami ini dengan empat orang istri sesuai dengan dalil normatif Al-qur’an
pada surat an-Nisa : 3. Diceritakan dari al-Qasim bin Ibrahim, bahwa ia pernah
membolehkan menikah dengan Sembilan orang wanita. Hal ini berdasarkan firman
Allah (an-Nisa : 3). Dia mengartikan bahwa huruf ‘wawu’ dalam ayat itu
dimaksudkan sebagai jamak. Dan karena Nabi sendiri menikah dengan Sembilan
wanita.
Pendapat tersebut tidak benar dan
bertentangan dengan ijma’ yang telah disepakati serta mengabaikan sunnah.
Karena Rasulullah saw, telah bersabda kepada Ghailan bin Salamah ketika ia
memeluk islam, sedang ia mempunyai sepuluh istri, ‘pertahankan empat saja dan ceraikan selebihnya”. Kemudian Naufal
bin Mu’awiyah bercerita, aku memeluk islam sedang aku mempunyai lima istri,
maka nabi berkata: “ceraikanlah salah
satu dari mereka”. Kedua hadist
tersebut diriwayatkan oleh Syafi’i dalam musnadnya[14][14].
Faqihuddin Abdul Kodir[15][15] menyatakan
bahwa mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk
meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7
Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah
sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, yang dilakukan Nabi
adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan
menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat
telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan
dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin
Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah
pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya
tanpa batas sama sekali.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya
mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan.
Melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin
Abi Thalib RA terhadap Fatimah. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan
kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis
terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika
mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin Abi
Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan
naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah
meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.
Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan.
Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan
mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang
mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya
adalah menyakiti hatiku juga." (Jami’ al-Ushul, juz XII, 162, nomor hadis:
9026).
Analisis poligami untuk konteks
kekinian :
Berbeda dengan poligami dalam
lintasan sejarah, yaitu pada masa pra-Islam dan praktek poligami pada masa
Rasulullah saw. Dalam konteks sekarang, alasan poligami pada umumnya adalah
syahwat. Bagaimana bisa di tengah banyaknya persoalan kehidupan yang rumit,
kemiskinan, ketidakadilan, laki-laki justru memikirkan poligami? Sebegitu
pentingkah mempunyai istri lebih dari satu sampai rela menghabiskan waktu untuk
mengurus hal itu. Maka sudah saatnya segala argumentasi tentang poligami kita
tanggapi dengan pikiran dan hati nurani yang bersih.
Pertama, poligami
sering diajukan sebagai hal yang baik dilakukan karena menghindari
perselingkuhan dan perzinaan. Benarkah? Pikiran ini benar bila dilihat poligami
menyebabkan hubungan seksual antara lelaki dan perempuan menjadi
"legal" di bawah naungan "lembaga perkawinan". Tetapi,
seharusnya yang juga ditanyakan, semudah itukah orang melegalkan seks? Kenapa
poligami seolah-olah meniadakan fakta sebelum ada poligami yang ada adalah
perselingkuhan? Lalu, bagaimana dengan pengkhianatan? Masyarakat telah terlalu
gampang membela poligami dengan menyatakan poligami akan menghindari perzinaan.
Tidakkah poligami bisa dilihat juga sebagai melegalkan pengkhianatan? Dan
kemudian istri diminta menerima pengkhianatan itu dengan berbagai dalih? Ketika
perselingkuhan dikukuhkan ke dalam lembaga perkawinan melalui mekanisme
poligami, maka "perselingkuhan" dianggap hilang, tetapi sebenarnya
pengkhianatan itu tetap ada. Tetapi, perempuan telah dididik untuk bisa menerima
itu.
Kedua, dalam
Islam poligami memang dibolehkan dengan syarat bisa berlaku adil. Pertanyaannya
sederhana, apakah lelaki benar-benar bisa berlaku adil, setiap waktu dari detik
ke detik? Adil lahir dan batin? Bila lelaki mengatakan "ya", alangkah
sombongnya lelaki itu.
Sebenarnya, bila ada kerendahan hati pada kaum lelaki, mereka pasti akan
mengaku tidak berani menjamin keadilan. Dan jika tidak berani menjamin, maka
tidak akan berani berpoligami karena takut akan murka Allah.
Ketiga, bagi
mereka yang ngotot dan mengaku sanggup adil, pertanyaan berikutnya adalah,
bagaimana mengukur keadilan? Kalau mau berargumentasi lelaki bisa adil, marilah
kita mencari indikator untuk mengukur keadilan. Dengan materi? Itu jelas
gampang. Tetapi, keadilan yang lebih dalam? Dari hati dan batin seseorang? Jika
tidak mungkin diukur, bagaimana bisa menjamin keadilan? Coba kita telaah lagi
aturan-aturan dalam agama, maka kita akan mendapati bahwa walaupun tidak
melarang, Islam justru menuntut umatnya berpikir dan menganalisis lebih jauh.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian poligami
dalam lintasan sejarah, tidak benar jika dikatakan bahwa Islamlah yang
mula-mula membawa sistem poligami. Karena faktanya praktek poligami sudah ada
dan dipraktekkan oleh kaum-kaum terdahulu jauh sebelum adanya agama Islam
bahkan sudah menjadi budaya yang lebih parah pada masyarakat non-Islam. Praktek
poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan
budaya.
Islam memperbolehkan poligami,
meletakan sebuah sistem berpoligami yang berkeadilan, bermoral dan manusiawi.
Dengan bertujuan sebagai solusi untuk memecahkan berbagai kesulitan sosial yang
dialami perempuan dalam hidup bermasyarakat. Adanya seorang lelaki di sisi
seorang janda akan mampu menjaga dan memeliharanya agar tidak terjatuh dalam
perbuatan yang keji dan pelipat-gandaan tempat perlindungan yang aman bagi
anak-anak yatim dimana mereka tumbuh dan dididik di dalamnya.
Untuk konteks sekarang, poligami
pada dasarnya pelanggaran terhadap integritas dalam institusi perkawinan,
karena institusi perkawinan pada dasarnya dibangun oleh dua orang yang ingin
membina kehidupan bersama, yang dimulai dengan niat yang tulus, cinta, dan
adanya janji sakral yang seharusnya dihormati. Ketika orang ketiga datang, apa
pun alasannya, janji antara awal tadi telah dikhianati. Maka ketidakjujuran
kemudian begitu saja mudah diterima dan "kebohongan" menjadi hilang
begitu kata poligami muncul.
F. PENUTUP
Demikian uraian singkat mengenai
poligami dalam tinjauan sejarah. Eksplorasi tentang topik yang kontroversial
ini tentunya tidaklah cukup hanya dengan satu makalah, sehingga masih banyak
kekurangan dalam konten makalah ini yang perlu banyak penyempurnaan. Kami
ucapkan banyak terimakasih atas segala perhatiannya, semoga diskusi tentang
poligami ini dapat membuka hakikat kebolehan dan ketidakbolehan poligami
terutama untuk kaum adam agar menimbang ulang untuk melakukan poligami. semoga
bermanfaat.