Monday, February 1, 2016

Biografi Imam Syafi'i dan Cara Ijtihadnya

CARA IJTIHAD IMAM SYAFI'I
Oleh : Agung Kurniawan


BAB I
PENDAHULUAN

Berdasarkan pada uraian-uraian materi makalah sebelumnya yang telah kita pelejari, telah kita ketahui tentang sumber-sumber hukum islam  baik dari al Qur’an, as Sunah maupun sumber-sumber lainya seperti ijma’, Qiyas, ijtihad, dan lain-lainya.Namun pada zaman dewasa ini ijtihad sangat diperlukan mengingat problem-problem yang semakin komplek dimasa dewasa ini yang berkaitan dengan hukum-hukum islam yang bersifat amaliah , sedangkan al Qur’an sebagai pedoman utama ajaran islam  tidak semuanya dijelaskan dalam al Qur’an secara eksplisit, melainkan harus digali secara mendalam untuk mendapatkan  hukum-hukum yang terperinci, oleh karena itu dibutuhkanlah ijtihad.

            Dalam ilmu ushul fiqh dikenal para ulama-ulama yang berjtihad  dalam merumuskan hukum -hukum fiqh diantaranya adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal.Kita juga perlu untuk mngetahui apa ijtihad yang telah dilakukan mereka itu? dan landasan dasar yang mereka gunakan ,  sehingga kita mengetahui hukum -hukum itu didambil. Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan ijtihad yang dilakukan oleh Imam Syafi’I .Beliau adalah seorang pendiri Mazhab Syafi’iyah yang sangat berjasa dalam islam beliaulah orang yang pertama kali menyusun kaidah-kaidah hukum fiqh secara global dan mensistematikannya. Untuk itu mari kita telaah dan pelajari ijtihad yang dilakukan nya.



BAB II
PEMBAHASAN

Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: شافعية , Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain. Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para pendukungnya.

Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.

1.      BIOGARAFI  IMAM SYAFI’I

Imam Syafi’i adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan pembaharu dalam agama J(mujaddid) pada abad kedua hijriah. Imam Syafi’i di lahirkan  di kota Gazzah dalam Palestina pada tahun 150 H [1][1], beliau lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al-Mansur (137-150 H / 754-774 M. Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris al-‘Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf.
        
  Pengembaraan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu kebeberapa daerah, seperti di Mekah beliau belajar hadits dan fiqh. Kemudian ketika umur beliau tiga belas  tahun beliau  mengembara  ke Madinah. Di Madinah beliau belajar dengan imam Malik hingga meninggal dunia. Setelah itu beliau melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Irak beliau belajar fiqh dengan Muhammad ibn al-Hasan beraliran hanafi (murid Imam Abu Hanifah). Setelah selesai menunutut ilmu dari beberapa daerah tersebut “Imam Syafi’i kembali ke Mekah dengan membawa pengetahuan tentang fiqh Irak. Kemudian beliau mengajar di Masjidil Haram, ia mengajarkan fiqh dalam dua corak, yaitu  corak madinah dan corak Irak, beliau mengajar di Masjidil Haram selama 9 tahun”.[2]

Di samping itu, al-Syafi’i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di Yaman, Mekah dan Madinah. Lima diantara ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafi’i adalah (1) Mutharraf ibn Mazim, (2) Hisyam ibn Yusuf, (3) ‘Umar ibn Abi Salmah, dan (4) Yahya ibn Hasan. Sedangkan guru Imam Syafi’i petama adalah Muslim Khalid Az Zinji, seorang ulama Mekah. Dengan pengembaraan menuntut ilmu, mengajar dan mengamalkan ilmunya ke beberapa daerah tersebut, maka beliau menjadi seorang ulama besar dan terkenal.  

                        I. Dasar Madzhab Syafi’i
            Didalam ar Risalah beliau menerangkan bahwa dasar-dasar Tasyri’ yang dipegangnya ialah:
1.Al Qur’n menurut dzahirnya
2.As Sunnah walaupun Ahad
3.Ijma’
4.Qiyas
            Imam Syafi’i telah mengumpulkan antara thariqat ahlu Ra’yi(rasional) daengan Thariqat ahli Hadist. Lantaran itulah madzhabnya tidak terlalu cenderung pada salah satu thariqath keduanya sehingga madzhab beliau berada ada tengah-tengah.adapun uraian beliau mengenai dasar-dasar itu adalah sebagai berikut:[3]

 1. Al Qur’an

            Mashdar-mashdar istidlal banyak namun kesemuanya kembali pada dua dasar pokok yaitu: al Qur’an dan as Sunnah,akan tetepi dalam sebagian kitabnya beliau mengatakan bahwa as Sunnah tidak semartabat dengan al qur’an, kemudian dijumpai pula mengatakan as Sunnah ditempat al qur’an, karena as Sunnah merupakan penjelas bagi al qur’an , walaupun hadist ahad tidak senilai dengan al Qur’an.

            Kemudian dijawab olehnya, al Qur’an dan as Sunnah kedua-duanya berasal dari Allah dan kedua-duanya yang membentuk sumber Syar’at. Mengingat hal ini pandangan beliau sebetulnya sependapat dengan pandangan kebanyakan shahabat[4] .

          As Syafi’i menetapkan bahwa as Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al Qur’an, namun demikian, bukan berarti hadist yang diriwayatkan Nabi semuanya berfaidah yakin beliau menyamakam as Sunnah dengan al Qur’an ketika mengistinbathkan hukum, juga tidak memberi pengertian as Sunnah mempunyai kekuatan dalam metetapkan aqidah.Orang yang mengingkari hadist dalam bidang aqidah tidaklah dikafirkan.

            Al Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah dalam bahasa arab yang murni,yang tidak tercampur dengan bahasa yang lain. Dan mengharuskan kepada kita untuk belajar bahasa arab, sehingga dapat mengucapkan Syahadah dengan bahasa arab, membaba al Qur’an dan dzikir-dzikir yang harus diucapkan dalam bahasa arab seperti: takbir, tahmid, dan lain-lain.[5]

            Tujuannya adalah untuk menetapkan orang yang tidak tahu bahasa arab makna-maknanya dan ushlub-ushlubnya dapat memahami al qur’an. Dengah kita mengetahui ushlub bahasa arab kita dapat menetahui maksud ‘am dan khash a Qur’an.

 2. As Sunnah

            Dalam ar Risalah Imam Syafi’i mengemukakan sejuml`h hujjah untuk membuktikan bahwa as Sunnah merupakan salah satu hujjah dari hujjah-hujjah agama.Karena jasa beliau mengumpulkan dalil-dalil bukti kehujjahan as Sunnah itulah sebabnya imam Syafi’i dijuluki ‘ Nashirus Sunnah’.

            Imam Syafi’i mengemukakan lima dalil yang menandaskan hadist ahad sebagai hujjah, namun ia tidak menempatkannya sejajar al Qur’an, atau hadist Mutawatir, karena al Qur’an dan hadist Mutamatirlah yang qath’i tsubutnya, yang dikafirkan orang yang mengingkarinya dan disuruh untuk bertaubat.

Syarat-syaratnya itu ialah:

            1.Perwinya kepercayaan, ia tidak menerima hadist dari orang yang tidak dipercaya.
2.Berakal, memahami apa yang diriwayatkan
3.Dhabit, kuat ingatannya
4.Mendengatkan langsung dari perawinya
5.Tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadist itu.

 Adapun pertentangan antara sunnah dengan sunnah membagi pada dua bagian:
1.Ikhtilaf yang dapat diketahui nasikh mansukhnya.
Diamalkanlah yang nasikh dan ini tidak dinamkan perselisihan

2.Ikhtilaf yang tidak dapat diketahui nasikh mansukhnya, bagian ini dibagi maenjadi dua:

a)Yang dapat dipertemukan haruslah dipertemukan
b)Yang tidak dapat dipertemukan dan jika terjadi pertentangan yang tidak dapat dipertamukan, imam Syafi’i menempuh tiga cara:

1)Menentukan mana yang dahulu dan mana yang kemudian, yang dahulu dipandang mansukh. Yang harus dicari adalah sejarah wurud hadist itu.

2)Jika tidak diketahui mana yanh dahulu dan mana yang kemudian, maka dikuatkan salah satunya berdasarkan sanad-sanadnya.
3)Mengambil hadiat yang dikuatkan petunjuknya atau oleh hadist yang lain.
           
Hadist yang berlawanan dzahirnya satu sama lain supaya dikompromikan. Mengkompromikan itu adakalanya dengan jalan menasakh, adakalanya dengan mentarjihkan salah satunya.

Mengenai kedudukan as Sunnah  (HADIST) beliau berkata;
Pertama, menerangkan kemujmalan al Qur’an seperti menerangkan kemujmalan ayat sholat dan ayat tentang puasa.
Kedua, menerangkan ‘am al Qur’an yang dikehendaki ‘amdan yang ‘am dikehendaki khash.
Ketiga, menerangkan tambahan-tambahan dari fardlu-fardlu yang telah ditetapkan al Qur’an.
Keempat, mendatangkan hukum-hukum yang tidak ada dalam al Qur’an.
Kelima, menerangkan mana yang nasikh dan mana yang mansukh.[6]

 3. Ijma’

            Imam Syafi’i mengatakan ijma’ itu adalah hujjah dan metapkannya setelah al  Qur’an dan as Sunnah sebelum Qiyas. Qiyas lebih lemah daripada ijma’, karena sama nilainya dengan tayammum. Ijma’ menurut as Syafi’i ialah kesepakatan seluruh ulama semasa tarhadap suatu hukum.

            Ijma’ yang mula-mula mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’ shahabat dan menerima ijma’ ditempat tidak ada nash. Karena beliau menerima ijma’ sebagai hujjah maka ijma’ harus disepakati oleh semua ulama diseluruh dunia, asy Syafi’i berpendirian ijma’ ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang menjadi hujjah Ijma’ yang mula-mula mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’ shahabat dan menerima ijma’ ditempat tidak ada nash. Karena beliau menerima ijma’ sebagai hujjah maka ijma’ harus disepakati oleh semua ulama diseluruh dunia, asy Syafi’i berpendirian ijma’ ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang menjadi hujjah.[7]
      
        Walaupun Imam syafi’i menentang pendapat Imam Malik dan mengkritik  para pengikutnya mengenai ijma’ Ulama madinah sebagai hujjah tetapi beliau tetap menghargai pendapat mereka .

4.Qiyas

Imam As Syafi’i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar qiyas. Para Fuqoha sebelumnya membahas tentang ar Ra’yu tanpa menentukan batas-batasanya.dan dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma ra’yu yang shahih dan yang tidak shahih.

Oleh karena itu dibuatlah kaedah-kaedah yang harus dipegangi dalam menentukan mana ra’yu yang shahih dan mana yang tidak shahih, kemudian kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah, batas-batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbath yang lain yang dipandang kecuali qiyas. Denga demikian beliaulah merupakan orang yang pertama dalam menerangkan hakekat qiyas. Akan tetapii imam Syafi’i sendiri belum membuat ta’rif qiyas, namun penjelasan-penjelasannya , contoh-contoh, bagian-bagiandan syarat-syaranya telah menjelaskan hakekat qiyas, yang kemudian dibuat ta’rifnyaoleh ulama ushul.

 Ulama ushul menta’rifkan qiyas dengan “Menghubungkan suatu urusan yang tidak dinashkan hukumnya dengan suatu urusan yang diketahui hukumnya karena bersekutu dalam illat hukum.”.

Mengetahui hukum Syara’ menurut Asy Syafi’I ada dua macam:

Pertama, mengetahui secara lengkap zahih dan batin. Orang yang memiliki pengetahuan yang sedemikian itu mengetahui bena zahir batinnya. Inilah ilmu yang semua manusia harus mengetahuinya.

Kedua, mengetahui zahir saja sedang hakekat terserah kepada Allah sendiri. Hal ini mengenai pengetahuan yang kita peroleh dengan jalan dzan dan dengan jalan tarjih.

            Pengetahuan yang pertama hanyalah apa yang dinashkan al-Qur’an dan Hadist Mutawatir, atau sesuatu yang dinukilkan oleh umum umat.[8]

            Ilmu yang zahir saja, sedang hakekat terserah kepada Allah ialah ilmu atau hukum-hukum yang diperoleh dengan jalan hadist ahad, atau dengan jalan khobar khashashah, dengan ijma’, dan qiyas. Mengetahui sesuatu dengan jalan-jalan ini, tidak dapat meyakinkan bahwa demikian ketetapan Allah. Qiyas menghasilkan ilmu zahir. Mengamalkan ketetapan qiyas, berarti mengamalkan nash, bukan melepaskan nash.[9]

            Asy Syafi’i mensyaratkan orang-orang yang boleh melakukan qiyas hendaknya mempunyai beberapa keahlian.

1.Mengetahui benar-benar bahasa arab.
2.Mengerti hukum Allah tentang fardlu, adad, nasikh, mansukh,‘am, khas dan petunjuk lafal-lafal itu.
3.Mengetahui as-Sunnah, pendapat-pendapat ulama salaf dan ikhtilaf
4.Cerdas dan berfikiran tajam.[10]


II. Metode Ijtihad Imam Syafi’i

   metoda yang digunakan oleh Imam Syafi’i yang kita kenal dengan metode Deduktif (umum-khusus).Jadi jelasnya yang dinamakan metode deduktif ialah pengambilan hukum dari  atas  ke  bawah  yakni dari AL Qur’an, Assunnah,Ijma,Qiyas sampai dengan Qoidah-Qoidah (yang telah dirumuskan oleh Imam Syafi’i). Jadi Deduktif adalah kebalikan dari Induktif.

Agar lebih jelas perhatikan contoh Qoidah Imam Syafi’i berikut:

الأموربمقاصدها

 Segala urusan tergantung kepada tujuan(niat)nya”

Qoidah tersebut dirumuskan oleh imam Syafi’I didasarkan atas:

a.Firman Allah  

Surat ali imron ayat 145

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur

b. Sabda Rasulullah saw. :
انماالأعمال بالنّيات وانمالكلّ امرئ ما نوى,فمن كانت هجرته
 الى اللهورسوله فهجرته الى الله ورسوله (متفق عليه)
“Amal-amal itu hanyalah dengan niat. Bagi setiap orang hanyalah memperoleh apa yang diniatkannya.Karena itu barang siapa yang hijrah kepada Allah dan Rasulnya maka hijrahnya pada Allah dan Rasulnya.”

Jadi contoh Qoidah tersebut, awal penetapannya karena ada dalil dari Al-Quran dan Asunnah. Sehingga ketika ada dalil yang menetapkan segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada niatnya (ayat diatas), oleh imam syafi’I dibuatlah Qoidah tersebut yang mana pada intinya pembuatan Qoidah tersebut disebabkan adanya dalil itu.

        Kemudian menurut Imam Syafi’I disari’atkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ‘IBADAT dan ‘ADAT serta untuk menentukan tingkatan satu sama lain.[11]

III.Corak pemikiran Mazhab Syafi’i

            Mazhab ini terbagi dalam dua kelompok: Pertama, corak pemikiran Al-Syfi’i ketika masih tinggal diIrak (rasionalis); kedua, corak pemikirannya setelah pindah keMesir yang mengkolaborasikan corak pemikiran Ulama Hijaz (tekstual)dan Irak (rasinalis). Corak pemikiran pertama dikenal dengan qaul qadim (pemikiran lama) dan corak pemikiran kedua dikenal dengan qaul jadid (pemikiran baru). Dalam  qaul qadim al-Syafi’i menuangkan pemikirannya dalam bukunya al- Hujjah , yang menjadi pedoman murid-muridnya diIrak, seperti Ibn Hanbal, Al-Za’faroni, Abu Tsaur, Al-Karabisi, dan lain-lainnya. Sedangkan qaul jadid  beliau menuangkan pemikirannya dalam Al-Umm (buku induk), yang menjadi pedoman murid-muridnya diMesir, diantaranya al-Buwaithi, al-Muzanni, al-Rabi’, dan lain-lainnya. Jika terjadi pertentangan antar qaul jadid dan qaul qadim maka yang mayoritas adalah qaul jadid.  

IV. Ciri khas ushul Asy-syafi’i dalam menghadapi nash.

            Dalam berdalil dengan dasar-dasar tasyri’untuk menetapkan hukum berpegang kepada zhir petunjuk nash dan dipahaminya menurut ketentuan-ketentuan bahasa Arab.Berpegang pada materi nash. Namun demikian tidak berarti Asy-Syafi’i terus menerus mengikuti zahir walaupu zahir yang menerima kebalikannya.Mazhah Syafi’i, ialah “memautkan hukum Syara’ dengan urusan-urusan yang telah tetap dan terus menerus berlaku, bukan dipautkan dengan sangkaan atau dugaan-dugaan[12]

BAB III         
                                                       KESIMPULAN

Imam Syafi’i adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan pembaharu dalam agama J(mujaddid) pada abad kedua hijriah. Imam Syafi’i di lahirkan  di kota Gazzah dalam Palestina pada tahun 150 H Dan wafat pada tahun 204 H.Dengan studi yang telah beliau lakukan kebeberapa daerah belajar kepada beberapa guru-guru baik yang berpemikiran rasional maupum yang berpemikiran pada tekstual hadis  dari hail studinya tersebut menghasilkan pada pemikiran beliau yang moderat tidak cenderung pada salah satu diantara keduanya.Istinbath yang dilakukan oleh Imam Syafi’I berlandaskan pada :
1.A
1. Al Qur’an menurut dzahirnya
2.As Sunnah walaupun Ahad
3.Ijma’
4.Qiyas

Pada zaman beliau para ulama pada waktu itu banyak yang berselisih pendapat dan belum adanya pensistemasian kaidah-kaidah dasar fiqh ulama ahli Ra’yi cenderung bebas dan ahli Hadis cenderung pada tekstual hadis sehingga banyak terjadi perselisihan diantara mereka.Melihat keadaan seperti itu Imam Syafi’I membuat kaidah-kaidah dasar yang harus dipegang oleh para mujtahid dalam beristinbat hukum dan mensitamatiskannya.

Metode istinbath  yang yang dilakukan oleh Imam Syafi’I ialah deduktif  yaitu pembuatan kaidah-kaidah dasar secara global yang terbebas dari pengaruh hukum furu’ dari atas yang diambil dari Qur’an dan Hadist yang kemudian diterapkan pada furu-furu’nya




                                                   DAFTAR PUSTAKA

Habsy ash-Shidiqi ,Teungku Muhammad, Pengantar Ushul fiqh,
Habsy ash-Shidiqi ,Teungku Muhammad, Pustaka Rizki Putra , Semarang,1967 pokok-pokok pegangan Imam Madzhab
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh 1997, Ushul Fiqh, Kairo: Dar-al-Fikr al-Arobi 
Drs. Ma`sum Zain, Muhammad MA. 2008, Darul Hikmah Jombang dan Maktabah al-Syarifah al-Khodjah
Dr, Syarbashy, Ahmad, A’immatul Arba’ah, Dar: al-Jayl, Beirut Libanon
Ridwan Akbar, Arif, DKK, sejarah tasyri’ islam FPII, Lirboyo, 2006









[1][1] Ahmad asy Syurbasyi ,Sejarah dan Biografi empat Madzhab, penerbit Amzah,1991,hal. 141
[2][2] Jaih hamzah,Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam’REmaja Rosida Karya,2000,hal. 102
[3][3] Pengantar ilmu ushul fiqh
[4][4] Al Risalah: 32, lihat pokok-pokok pegengan imam madzhab,hal.239, Teungku Muhammah Habsy ash-Shidiqi, Pustaka Rizki Putra , Semarang,1967
[5][5] Ar-Risalah, hal. 42,al Muwaffaqath,hal. 43, ibid, hal. 240
[6][6] pokok-pokok pegengan imam madzhab,hal. 247, Teungku Muhammah Habsy ash-Shidiqi, Pustaka Rizki Putra , Semarang,1967

[7][7] Ar-Risalah :hal. 534, Al- Umm  j uz 7 hal:242,  ibid  hal.255
[8][8] ar Risalah hal. 482, ibid ,hal. 258
[9][9]  ar Risalah hal. 482, 493, 496, 497 , ibid , hal. 258
[10][10] Ibid, hal. 260. 
[12][12] ’al-Umm juz 7,hal 42, ibid,hal. 273

No comments:

Post a Comment