CARA IJTIHAD IMAM SYAFI'I
Oleh : Agung Kurniawan
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan pada uraian-uraian materi makalah
sebelumnya yang telah kita pelejari, telah kita ketahui tentang sumber-sumber
hukum islam baik dari al Qur’an, as
Sunah maupun sumber-sumber lainya seperti ijma’, Qiyas, ijtihad, dan
lain-lainya.Namun pada zaman dewasa ini ijtihad sangat diperlukan mengingat
problem-problem yang semakin komplek dimasa dewasa ini yang berkaitan dengan
hukum-hukum islam yang bersifat amaliah , sedangkan al Qur’an sebagai pedoman
utama ajaran islam tidak semuanya
dijelaskan dalam al Qur’an secara eksplisit, melainkan harus digali secara
mendalam untuk mendapatkan hukum-hukum
yang terperinci, oleh karena itu dibutuhkanlah ijtihad.
Dalam ilmu ushul fiqh dikenal para
ulama-ulama yang berjtihad dalam
merumuskan hukum -hukum fiqh diantaranya adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal.Kita juga perlu untuk mngetahui apa ijtihad yang
telah dilakukan mereka itu? dan landasan dasar yang mereka gunakan , sehingga kita mengetahui hukum -hukum itu
didambil. Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan ijtihad yang dilakukan oleh
Imam Syafi’I .Beliau adalah seorang pendiri Mazhab Syafi’iyah yang sangat
berjasa dalam islam beliaulah orang yang pertama kali menyusun kaidah-kaidah
hukum fiqh secara global dan mensistematikannya. Untuk itu mari kita telaah dan
pelajari ijtihad yang dilakukan nya.
BAB
II
PEMBAHASAN
Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: شافعية , Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris
asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain. Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan
sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab
Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara
mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah
bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para
pendukungnya.
Karena metodologinya
yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh Mazhab
Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi
pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar
terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i diperkirakan
diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam
hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.
1.
BIOGARAFI IMAM SYAFI’I
Imam Syafi’i adalah imam yang ketiga menurut
susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan
pembaharu dalam agama J(mujaddid) pada
abad kedua hijriah. Imam Syafi’i di lahirkan
di kota Gazzah dalam Palestina pada tahun 150 H [1][1],
beliau lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu
Ja’far al-Mansur (137-150 H / 754-774 M.
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris al-‘Abbas ibn Utsman ibn
Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib
ibn ‘Abd Manaf.
Pengembaraan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu
kebeberapa daerah, seperti di Mekah beliau belajar hadits dan fiqh. Kemudian
ketika umur beliau tiga belas tahun
beliau mengembara ke Madinah. Di Madinah beliau belajar dengan
imam Malik hingga meninggal dunia. Setelah itu beliau melanjutkan pengembaraan
ilmunya ke Irak beliau belajar fiqh dengan Muhammad ibn al-Hasan beraliran
hanafi (murid Imam Abu Hanifah). Setelah selesai menunutut ilmu dari beberapa
daerah tersebut “Imam Syafi’i kembali ke Mekah dengan membawa pengetahuan
tentang fiqh Irak. Kemudian beliau mengajar di Masjidil Haram, ia mengajarkan
fiqh dalam dua corak, yaitu corak
madinah dan corak Irak, beliau mengajar di Masjidil Haram selama 9 tahun”.[2]
Di samping itu,
al-Syafi’i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di Yaman, Mekah dan
Madinah. Lima diantara ulama
Yaman yang menjadi guru Imam Syafi’i adalah (1) Mutharraf ibn Mazim, (2) Hisyam
ibn Yusuf, (3) ‘Umar ibn Abi Salmah, dan (4) Yahya ibn Hasan. Sedangkan guru
Imam Syafi’i petama adalah Muslim Khalid Az Zinji, seorang ulama Mekah. Dengan
pengembaraan menuntut ilmu, mengajar dan mengamalkan ilmunya ke beberapa daerah
tersebut, maka beliau menjadi seorang ulama besar dan terkenal.
I. Dasar Madzhab Syafi’i
Didalam
ar Risalah beliau menerangkan bahwa dasar-dasar Tasyri’ yang dipegangnya ialah:
1.Al Qur’n menurut dzahirnya
2.As Sunnah
walaupun Ahad
3.Ijma’
4.Qiyas
Imam
Syafi’i telah mengumpulkan antara thariqat ahlu Ra’yi(rasional) daengan
Thariqat ahli Hadist. Lantaran itulah madzhabnya tidak terlalu cenderung pada
salah satu thariqath keduanya sehingga madzhab beliau berada ada
tengah-tengah.adapun uraian beliau mengenai dasar-dasar itu adalah sebagai
berikut:[3]
1. Al
Qur’an
Mashdar-mashdar
istidlal banyak namun kesemuanya kembali pada dua dasar pokok yaitu: al Qur’an
dan as Sunnah,akan tetepi dalam sebagian kitabnya beliau mengatakan bahwa as
Sunnah tidak semartabat dengan al qur’an, kemudian dijumpai pula mengatakan as
Sunnah ditempat al qur’an, karena as Sunnah merupakan penjelas bagi al qur’an ,
walaupun hadist ahad tidak senilai dengan al Qur’an.
Kemudian
dijawab olehnya, al Qur’an dan as Sunnah kedua-duanya berasal dari Allah dan
kedua-duanya yang membentuk sumber Syar’at. Mengingat hal ini pandangan beliau
sebetulnya sependapat dengan pandangan kebanyakan shahabat[4] .
As Syafi’i
menetapkan bahwa as Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al Qur’an, namun
demikian, bukan berarti hadist yang diriwayatkan Nabi semuanya berfaidah yakin
beliau menyamakam as Sunnah dengan al Qur’an ketika mengistinbathkan hukum,
juga tidak memberi pengertian as Sunnah mempunyai kekuatan dalam metetapkan
aqidah.Orang yang mengingkari hadist dalam bidang aqidah tidaklah dikafirkan.
Al
Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah dalam bahasa arab yang
murni,yang tidak tercampur dengan bahasa yang lain. Dan mengharuskan kepada
kita untuk belajar bahasa arab, sehingga dapat mengucapkan Syahadah dengan
bahasa arab, membaba al Qur’an dan dzikir-dzikir yang harus diucapkan dalam
bahasa arab seperti: takbir, tahmid, dan lain-lain.[5]
Tujuannya
adalah untuk menetapkan orang yang tidak tahu bahasa arab makna-maknanya dan
ushlub-ushlubnya dapat memahami al qur’an. Dengah kita mengetahui ushlub bahasa
arab kita dapat menetahui maksud ‘am dan khash a Qur’an.
2. As Sunnah
Dalam ar
Risalah Imam Syafi’i mengemukakan sejuml`h hujjah untuk membuktikan bahwa as
Sunnah merupakan salah satu hujjah dari hujjah-hujjah agama.Karena jasa beliau
mengumpulkan dalil-dalil bukti kehujjahan as Sunnah itulah sebabnya imam
Syafi’i dijuluki ‘ Nashirus Sunnah’.
Imam
Syafi’i mengemukakan lima dalil yang menandaskan hadist ahad sebagai hujjah,
namun ia tidak menempatkannya sejajar al Qur’an, atau hadist Mutawatir, karena
al Qur’an dan hadist Mutamatirlah yang qath’i tsubutnya, yang dikafirkan orang
yang mengingkarinya dan disuruh untuk bertaubat.
Syarat-syaratnya itu ialah:
1.Perwinya kepercayaan, ia tidak menerima hadist dari
orang yang tidak dipercaya.
2.Berakal, memahami apa yang diriwayatkan
3.Dhabit, kuat
ingatannya
4.Mendengatkan
langsung dari perawinya
5.Tidak
menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadist itu.
Adapun pertentangan antara sunnah
dengan sunnah membagi pada dua bagian:
1.Ikhtilaf yang
dapat diketahui nasikh mansukhnya.
Diamalkanlah
yang nasikh dan ini tidak dinamkan perselisihan
2.Ikhtilaf yang
tidak dapat diketahui nasikh mansukhnya, bagian ini dibagi maenjadi dua:
a)Yang dapat
dipertemukan haruslah dipertemukan
b)Yang tidak
dapat dipertemukan dan jika terjadi pertentangan yang tidak dapat dipertamukan,
imam Syafi’i menempuh tiga cara:
1)Menentukan
mana yang dahulu dan mana yang kemudian, yang dahulu dipandang mansukh. Yang
harus dicari adalah sejarah wurud hadist itu.
2)Jika tidak
diketahui mana yanh dahulu dan mana yang kemudian, maka dikuatkan salah satunya
berdasarkan sanad-sanadnya.
3)Mengambil
hadiat yang dikuatkan petunjuknya atau oleh hadist yang lain.
Hadist
yang berlawanan dzahirnya satu sama lain supaya dikompromikan. Mengkompromikan
itu adakalanya dengan jalan menasakh, adakalanya dengan mentarjihkan salah
satunya.
Mengenai kedudukan as Sunnah (HADIST) beliau
berkata;
Pertama, menerangkan
kemujmalan al Qur’an seperti menerangkan kemujmalan ayat sholat dan ayat
tentang puasa.
Kedua, menerangkan ‘am
al Qur’an yang dikehendaki ‘amdan yang ‘am dikehendaki khash.
Ketiga, menerangkan
tambahan-tambahan dari fardlu-fardlu yang telah ditetapkan al Qur’an.
Keempat, mendatangkan hukum-hukum
yang tidak ada dalam al Qur’an.
Kelima, menerangkan mana yang
nasikh dan mana yang mansukh.[6]
3. Ijma’
Imam
Syafi’i mengatakan ijma’ itu adalah hujjah dan metapkannya setelah al Qur’an dan as Sunnah sebelum Qiyas. Qiyas
lebih lemah daripada ijma’, karena sama nilainya dengan tayammum. Ijma’ menurut
as Syafi’i ialah kesepakatan seluruh ulama semasa tarhadap suatu hukum.
Ijma’
yang mula-mula mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’ shahabat dan
menerima ijma’ ditempat tidak ada nash. Karena beliau menerima ijma’ sebagai
hujjah maka ijma’ harus disepakati oleh semua ulama diseluruh dunia, asy
Syafi’i berpendirian ijma’ ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang menjadi
hujjah Ijma’ yang mula-mula mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’
shahabat dan menerima ijma’ ditempat tidak ada nash. Karena beliau menerima
ijma’ sebagai hujjah maka ijma’ harus disepakati oleh semua ulama diseluruh
dunia, asy Syafi’i berpendirian ijma’ ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang
menjadi hujjah.[7]
Walaupun Imam
syafi’i menentang pendapat Imam Malik dan mengkritik para pengikutnya mengenai ijma’ Ulama madinah
sebagai hujjah tetapi beliau tetap menghargai pendapat mereka .
4.Qiyas
Imam As Syafi’i adalah mujtahid yang mula-mula
menguraikan dasar qiyas. Para Fuqoha sebelumnya membahas tentang ar Ra’yu tanpa
menentukan batas-batasanya.dan dasar penggunaannya, tanpa menentukan
norma-norma ra’yu yang shahih dan yang tidak shahih.
Oleh karena itu dibuatlah kaedah-kaedah yang
harus dipegangi dalam menentukan mana ra’yu yang shahih dan mana yang tidak
shahih, kemudian kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah, batas-batas
qiyas, martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam
istinbath yang lain yang dipandang kecuali qiyas. Denga demikian beliaulah
merupakan orang yang pertama dalam menerangkan hakekat qiyas. Akan tetapii imam
Syafi’i sendiri belum membuat ta’rif qiyas, namun penjelasan-penjelasannya ,
contoh-contoh, bagian-bagiandan syarat-syaranya telah menjelaskan hakekat qiyas,
yang kemudian dibuat ta’rifnyaoleh ulama ushul.
Ulama
ushul menta’rifkan qiyas dengan “Menghubungkan
suatu urusan yang tidak dinashkan hukumnya dengan suatu urusan yang diketahui
hukumnya karena bersekutu dalam illat hukum.”.
Mengetahui
hukum Syara’ menurut Asy Syafi’I ada dua macam:
Pertama, mengetahui secara lengkap zahih dan batin. Orang yang memiliki pengetahuan yang sedemikian itu
mengetahui bena zahir batinnya. Inilah ilmu yang semua manusia harus
mengetahuinya.
Kedua,
mengetahui zahir saja sedang hakekat terserah kepada Allah sendiri. Hal ini
mengenai pengetahuan yang kita peroleh dengan jalan dzan dan dengan jalan
tarjih.
Pengetahuan
yang pertama hanyalah apa yang dinashkan al-Qur’an dan Hadist Mutawatir, atau
sesuatu yang dinukilkan oleh umum umat.[8]
Ilmu
yang zahir saja, sedang hakekat terserah kepada Allah ialah ilmu atau
hukum-hukum yang diperoleh dengan jalan hadist ahad, atau dengan jalan khobar
khashashah, dengan ijma’, dan qiyas. Mengetahui sesuatu dengan jalan-jalan ini,
tidak dapat meyakinkan bahwa demikian ketetapan Allah. Qiyas menghasilkan ilmu
zahir. Mengamalkan ketetapan qiyas, berarti mengamalkan nash, bukan melepaskan
nash.[9]
Asy
Syafi’i mensyaratkan orang-orang yang boleh melakukan qiyas hendaknya mempunyai
beberapa keahlian.
1.Mengetahui benar-benar
bahasa arab.
2.Mengerti hukum Allah tentang fardlu, adad, nasikh,
mansukh,‘am, khas dan petunjuk lafal-lafal itu.
3.Mengetahui as-Sunnah, pendapat-pendapat ulama salaf dan ikhtilaf
4.Cerdas dan berfikiran tajam.[10]
II. Metode Ijtihad Imam Syafi’i
metoda yang digunakan oleh Imam Syafi’i yang kita kenal dengan metode
Deduktif (umum-khusus).Jadi jelasnya yang dinamakan metode deduktif ialah
pengambilan hukum dari atas ke bawah
yakni dari AL Qur’an, Assunnah,Ijma,Qiyas sampai dengan Qoidah-Qoidah (yang
telah dirumuskan oleh Imam Syafi’i). Jadi Deduktif adalah kebalikan dari
Induktif.
Agar lebih jelas perhatikan contoh Qoidah Imam Syafi’i
berikut:
الأموربمقاصدها
Segala
urusan tergantung kepada tujuan(niat)nya”
Qoidah tersebut dirumuskan oleh imam Syafi’I
didasarkan atas:
a.Firman Allah
Surat ali imron ayat 145
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.
dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur
b. Sabda Rasulullah saw. :
انماالأعمال بالنّيات وانمالكلّ
امرئ ما نوى,فمن كانت هجرته
الى اللهورسوله فهجرته الى الله ورسوله
(متفق عليه)
“Amal-amal itu hanyalah dengan niat. Bagi setiap orang hanyalah
memperoleh apa yang diniatkannya.Karena itu barang siapa yang hijrah kepada Allah
dan Rasulnya maka hijrahnya pada Allah dan Rasulnya.”
Jadi contoh
Qoidah tersebut, awal penetapannya karena ada dalil dari Al-Quran dan Asunnah.
Sehingga ketika ada dalil yang menetapkan segala sesuatu (perbuatan) tergantung
pada niatnya (ayat diatas), oleh imam syafi’I dibuatlah Qoidah tersebut yang
mana pada intinya pembuatan Qoidah tersebut disebabkan adanya dalil itu.
Kemudian menurut Imam Syafi’I disari’atkan niat adalah
untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ‘IBADAT dan ‘ADAT serta untuk
menentukan tingkatan satu sama lain.[11]
III.Corak pemikiran Mazhab Syafi’i
Mazhab
ini terbagi dalam dua kelompok: Pertama, corak pemikiran Al-Syfi’i
ketika masih tinggal diIrak (rasionalis); kedua, corak pemikirannya
setelah pindah keMesir yang mengkolaborasikan corak pemikiran Ulama Hijaz
(tekstual)dan Irak (rasinalis). Corak pemikiran pertama dikenal dengan qaul
qadim (pemikiran lama) dan corak pemikiran kedua dikenal dengan qaul
jadid (pemikiran baru). Dalam qaul qadim al-Syafi’i menuangkan
pemikirannya dalam bukunya al- Hujjah , yang menjadi pedoman
murid-muridnya diIrak, seperti Ibn Hanbal, Al-Za’faroni, Abu Tsaur,
Al-Karabisi, dan lain-lainnya. Sedangkan qaul jadid beliau menuangkan pemikirannya dalam Al-Umm
(buku induk), yang menjadi pedoman murid-muridnya diMesir, diantaranya
al-Buwaithi, al-Muzanni, al-Rabi’, dan lain-lainnya. Jika terjadi pertentangan
antar qaul jadid dan qaul qadim maka yang mayoritas adalah qaul
jadid.
IV. Ciri khas ushul Asy-syafi’i dalam menghadapi nash.
Dalam
berdalil dengan dasar-dasar tasyri’untuk menetapkan hukum berpegang kepada zhir
petunjuk nash dan dipahaminya menurut ketentuan-ketentuan bahasa
Arab.Berpegang pada materi nash. Namun demikian tidak berarti Asy-Syafi’i terus
menerus mengikuti zahir walaupu zahir yang menerima kebalikannya.Mazhah
Syafi’i, ialah “memautkan hukum Syara’ dengan urusan-urusan yang telah tetap
dan terus menerus berlaku, bukan dipautkan dengan sangkaan atau dugaan-dugaan[12]
BAB
III
KESIMPULAN
Imam Syafi’i adalah imam yang ketiga menurut
susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan
pembaharu dalam agama J(mujaddid) pada
abad kedua hijriah. Imam Syafi’i di lahirkan
di kota Gazzah dalam Palestina pada tahun 150 H Dan wafat
pada tahun 204 H.Dengan studi yang telah beliau lakukan kebeberapa daerah
belajar kepada beberapa guru-guru baik yang berpemikiran rasional maupum yang
berpemikiran pada tekstual hadis dari
hail studinya tersebut menghasilkan pada pemikiran beliau yang moderat tidak
cenderung pada salah satu diantara keduanya.Istinbath yang dilakukan oleh Imam
Syafi’I berlandaskan pada :
1.A
1. Al Qur’an menurut dzahirnya
2.As Sunnah walaupun Ahad
3.Ijma’
4.Qiyas
Pada zaman beliau para ulama pada waktu itu
banyak yang berselisih pendapat dan belum adanya pensistemasian kaidah-kaidah
dasar fiqh ulama ahli Ra’yi cenderung bebas dan ahli Hadis cenderung pada
tekstual hadis sehingga banyak terjadi perselisihan diantara mereka.Melihat
keadaan seperti itu Imam Syafi’I membuat kaidah-kaidah dasar yang harus
dipegang oleh para mujtahid dalam beristinbat hukum dan mensitamatiskannya.
Metode istinbath yang yang dilakukan oleh Imam Syafi’I ialah deduktif yaitu pembuatan kaidah-kaidah dasar secara
global yang terbebas dari pengaruh hukum furu’ dari atas yang diambil dari
Qur’an dan Hadist yang kemudian diterapkan pada furu-furu’nya
DAFTAR PUSTAKA
Habsy
ash-Shidiqi ,Teungku Muhammad, Pengantar Ushul fiqh,
Habsy ash-Shidiqi ,Teungku Muhammad, Pustaka Rizki
Putra , Semarang,1967 pokok-pokok pegangan Imam Madzhab
Abu Zahrah,
Muhammad, Ushul
Fiqh 1997, Ushul Fiqh,
Kairo: Dar-al-Fikr al-Arobi
Drs. Ma`sum
Zain, Muhammad MA. 2008, Darul Hikmah Jombang dan Maktabah al-Syarifah
al-Khodjah
Dr, Syarbashy, Ahmad, A’immatul Arba’ah,
Dar: al-Jayl, Beirut Libanon
Ridwan Akbar, Arif, DKK, sejarah tasyri’ islam FPII,
Lirboyo, 2006
[1][1]
Ahmad asy Syurbasyi ,Sejarah dan Biografi empat Madzhab, penerbit
Amzah,1991,hal. 141
[2][2]
Jaih hamzah,Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam’REmaja Rosida Karya,2000,hal.
102
[4][4]
Al Risalah: 32, lihat pokok-pokok
pegengan imam madzhab,hal.239, Teungku Muhammah Habsy ash-Shidiqi, Pustaka
Rizki Putra , Semarang,1967
[6][6]
pokok-pokok pegengan imam
madzhab,hal. 247, Teungku Muhammah Habsy ash-Shidiqi, Pustaka Rizki Putra ,
Semarang,1967
[11][11] http://wwwsaidahmad.blogspot.com/2011/05/ijtihad-imam-syafi.html, diakses senin 19 desember jam 21:00
No comments:
Post a Comment